Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali menjadi sorotan. Hari ini, Jumat (20/12/2024), rupiah dibuka melemah tipis 0,03% di angka Rp16.290/US$, namun hanya dalam hitungan menit, depresiasi berlanjut hingga menyentuh level Rp16.300/US$, menurut data Refinitiv.
Beruntung, di penutupan perdagangan hari ini, rupiah berhasil rebound pada penutupan perdagangan pekan ini Jumat (20/12/2024) setelah sempat tertekan lebih dari 1% di hari sebelumnya. Rupiah berhasil sumringah dengan menguat hingga 0,58% ke level Rp16,190/US$.
Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira menilai depresiasi rupiah yang terjadi saat ini dipicu oleh kebijakan hawkish dari Federal Reserve (The Fed). Namun, menurut dia, dampaknya terhadap dunia usaha akan bervariasi, tergantung pada sektor dan strategi masing-masing pelaku usaha.
Ketika ditanya, apakah pelemahan rupiah yang terjadi saat ini akan berlanjut hingga awal tahun 2025, dia menilai tren pelemahan rupiah berpotensi berlanjut dan akan sangat bergantung pada sejumlah faktor eksternal, terutama kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan dinamika ekonomi global.
“Kami melihat situasinya sangat tergantung pada berbagai faktor eksternal, terutama kebijakan moneter AS dan kondisi ekonomi global. Selain itu, sentimen domestik juga berpengaruh, seperti langkah pemerintah dalam menjaga stabilitas makroekonomi, tingkat inflasi, serta daya tahan cadangan devisa kita,” jelas Anggawira kepada CNBC Indonesia, Jumat (20/12/2024).
Menurutnya, langkah-langkah pemerintah untuk menjaga stabilitas nilai tukar menjadi sangat penting dalam menghadapi situasi ini, termasuk kebijakan untuk mengendalikan inflasi dan memperkuat cadangan devisa. Hal itu, katanya, berkontribusi besar dalam menentukan arah nilai tukar ke depan.
Menyikapi pelemahan rupiah ini, Anggawira menyampaikan strategi yang telah dan akan dilakukan sejumlah pengusaha ke depan untuk menghadapi dampak fluktuasi nilai tukar. Langkah pertama, diversifikasi risiko Valuta Asing (Valas). Katanya, banyak pengusaha yang sudah mulai memanfaatkan mekanisme hedging sebagai upaya untuk melindungi bisnis mereka dari risiko fluktuasi kurs.
Kedua, melakukan efisiensi operasional. “Para pelaku usaha memastikan bahwa biaya produksi tetap terjaga meskipun ada tekanan dari kurs,” lanjutnya.
Ketiga, melakukan eksplorasi pasar baru. Seperti mengandalkan peluang dari pasar domestik atau regional untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor.
Anggawira menekankan, pelemahan rupiah ini memberikan dampak beragam bagi sektor usaha. Industri yang bergantung pada bahan baku impor, seperti manufaktur dan teknologi, kemungkinan besar akan merasakan tekanan yang lebih besar akibat kenaikan biaya produksi. Namun, dia juga menyoroti adanya peluang di sektor ekspor.
“Jika tekanan terhadap rupiah ini terus berlanjut, dampaknya mungkin lebih terasa pada sektor yang bergantung pada impor bahan baku. Namun, di sisi lain, pelemahan rupiah juga membuka peluang untuk sektor ekspor, karena produk-produk lokal akan lebih kompetitif di pasar global,” jelasnya.
Kurs Ideal di Mata Pengusaha
Dari perspektif pelaku usaha, lanjutnya, psikologis kurs yang ideal berada di kisaran Rp15.500-Rp15.800/US$. Level ini dinilai aman untuk menjaga margin usaha, khususnya di sektor industri yang menggunakan bahan baku impor. Namun, jika depresiasi terus berlanjut hingga awal 2025, tekanan pada margin usaha bisa menjadi lebih berat.
Lebih lanjut, Anggawira menekankan pentingnya peran pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar.
“Kami tetap berharap pemerintah dan Bank Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang progresif untuk menjaga stabilitas nilai tukar, seperti menjaga pasokan valas, mendorong investasi asing, serta mengoptimalkan ekspor di sektor unggulan,” pungkasnya.