Pasar keuangan Indonesia akan disokong oleh beragam sentimen dari rilis data-data ekonomi penting dari dalam maupun luar negeri. Sehingga pergerakan pasar saham maupun rupiah berpotensi fluktuatif.
Pada Senin (13/1/2025) datang sentimen dari China. Negeri Tirai Bambu tersebut akan merilis data ekspor, impor, serta neraca dagang.
Berdasarkan konsensus Trading Economics,ekspor China pada Desember 2024 akan bertumbuh 7,3% year-on-year (yoy), lebih cepat ketimbang bulan sebelumnya (November) sebesar 6,7% yoy.
Sementara pertumbuhan impor pada Desember 2024 diperkirakan membaik walaupun masih negatif. Konsensus Trading Economics memperkirakan impor China akan tumbuh -1,5% yoy, sementara pada November -3,9% yoy.
Pertumbuhan ekspor yang lebih agresif membuat neraca perdagangan China diperkirakan semakin tinggi yakni US$99,80 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya US$97,44 miliar.
Keesokan harinya atau Selasa (14/1/2025) akan rilis data inflasi produksi Amerika Serikat. Data ini cukup penting sebagai sinyal kondisi daya beli masyarakat AS dan pertimbangan kebijakan suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve atau The Fed.
Berdasarkan konsensus Trading Economics PPI AS pada Desember 2024 akan mencapai 3,2% yoy, mendingin dibandingkan bulan sebelumnya yakni 3,4%.
Kemudian, pada Rabu (15/1/2025) Indonesia akan mengumumkan nilai neraca dagang beserta ekspor dan impor pada Desember 2024.
Trading Economics memperkirakan neraca dagang Indonesia akan surplus pada Desember 2024, namun nilainya berkurang menjadi US$4,33 miliar dibandingkan bulan sebelumnya US$4,42 miliar.
Sementara pertumbuhan ekspor diperkirakan melambat menjadi 8,5% yoy pada Desember 2024. Sementara pertumbuhan ekspor Indonesia pada November 2024 sebesar 9,14% yoy.
Sebaliknya, pertumbuhan impor Indonesia diperkirakan semakin ngegas menjadi 4% pada akhir tahun lalu, dibandingkan pertumbuhan November hanya 0,01% yoy.
Pada hari yang sama, Bank Indonesia akan mengumumkan suku bunga untuk Januari 2025.
Kabar ini sangat dinantikan oleh pelaku pasar, karena menantikan kebijakan suku bunga BI di tengah rupiah yang melemah terhadap dolar AS, ketidakpastian politik dan geopolitik global.
Sebelumnya, Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) kembali memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di level 6% per November 2024.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, ia menekankan, fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak makin tingginya ketidakpastian perekonomian global akibat arah kebijakan Amerika Serikat (AS) dan eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah.
Malam di hari yang sama, Rabu (15/12/2024), Amerika Serikat akan mengumumkan tingkat inflasi pada Desember 2024.
Tingkat inflasi menjadi indikator penting dalam memproyeksi arah kebijakan suku bunga The Fed. Trading Economics memperkirakan tingkat inflasi AS pada periode Desember 2024 tidak berubah, tetap 3,3% yoy.
Tingkat inflasi AS memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan suku bunga The Fed. Bank sentral Amerika Serikat tersebut menutup tahun ini dengan kembali memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps). Namun, The Fed mengisyaratkan hanya akan memangkas suku bunga dua kali pada 2025.
Kemudian pada Jumat (17/1/2025), China akan mengumumkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal empat 2024.
Diperkirakan ekonomi China akan tumbuh lebih cepat menjadi 5,1% yoy, dibandingkan kuartal tiga 4,6%.